Monday 5 April 2010

Persebaran warteg sbgai dampak dr urbanisasi

Persebaran penduduk karena faktor urbanisasi ini terjadi pada tahun 1942-1970-an. Tujuan mereka adalah kota-kota besar dan padat di Indonesia salah satunya adalah Jakarta. Jakarta yang menjadi sentral pemerintahan, perindustrian, dan perekonomian membuat rakyat kecil berbondong-bondong pindah ke Jakarta. Begitu juga dengan pengusaha warteg ini mulai ada sejak tahun 1942-1945 kemudian mulai berkembang menjadi rumah makan seperti sekarang ini sejak tahun 1970-an.
Setelah dianalisa lebih dalam melalui wawancara, ada yang disebut dengan warteg tradisional. Warteg tradisional adalah warteg generasi kedua. Pada warteg generasi pertama gagal pada tahun 1965 karena adanya pemberontakan Gerakan 30 September yang dulunya di sebut G.30-S/PKI mengakibatkan mereka pulang kampung. Setelah pemberontakan reda, pada tahun 1970-an, dilanjutkan lagi oleh geberasi kedua atau penggagas warteg tradisioanal, yaitu mereka yang lebih muda-muda. Mereka berusaha membuat sebuah konsep rumah makan yaitu “warteg”. Ketika kita membicarakan rumah makan warteg, yang ada dipikiran kita adalah ciri-ciri khasnya seperti; (1) dibagian depan warung ini terdapat tulisan “warteg”, tanpa diikuti nama lainya, (2) mempunyai dua pintu yang selalu terbuka, (3) jendelanya terbuat dari papan yang berongga, (4) tempat duduk warteg terbuat dari bangku kayu yang memanjang, (5) menu makanan disajikan di etalase, sehingga pembeli dapat memilih langsung menu makanannya. Menu-menu makanan tidak ada yang istimewa hanya makanan rumahan. Menu makanan tersebut antara lain nasi putih, ayam goreng, tempe goreng, ikan goreng, telor asin, tahu goreng, gulai nangka, sambal, kerupuk, mie goreng dan tidak ketinggalan teh yang diseduh dengan gula batu. Namun itulah keunikan warteg.
Mengikuti perkembangan zaman sekarng ini, ada banyak perubahan yang terjadi pada fisik warteg, walaupun tidak jelas terlihat. Namun dapat disimpulkan bahwa untuk generasi mendatang kita akan kehilangan ciri khas dari warteg generasi kedua/warteg tradisional. Sekarang ini, pengusaha warteg cenderung menyesuaikan dengan lingkungan dimana ia berdagang. Sudah jarang ditemukan jendela papan bercat biru dan bersekat karena alasan keamanan. Kebanyakan dari mereka adalah mengontrak rumah alhasil warteg tradisional semakin tidak terlihat. Kursi panjang yang sebagaimana biasanya diganti menjadi kursi tunggal. Dan penyajiannya juga disesuaikan dengan bentuk rumah. Menu makanannya juga disesuaikan dengan lidah masyarakat setempat. Jadi dapat disimpulkan bahwa terjadi akulturasi budaya setempat dengan budaya warteg tradisioanal.



DAFTAR SUMBER



“Bersakit-sakit di Jakarta”. Gatra, 6 April 1996.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1975. SEJARAH NASIONAL INDONESIA. Jilid VI. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
“Nonstop Kakak Adik Warmo”. Gatra, 6 April 1996
“Rejeki Tidak Berpintu”. Gatra, 6 April 1996
“Suatu Hari dalam Hidup Warteg”. Gatra, 6 April 1996