Sunday 10 October 2010

Pendekatan Baru dari Alun Munslow untuk Sejarah

             Sebuah buku yang berjudul Deconstructing History karangan Alun Munslow professor sejarah di universitas Chichester dan staffordshire university. Buku ini membahas beberapa topik secara garis besar yaitu, pada bab 1, pendahuluan, bab 2 membahas tentang masa lalu yang mengubah masa sekarang, bab 3 membahas tentang sejarah sebagai hasil rekonstruksi atau konstruksi; pada bab 4 membahas tentang sejarah sebagai dekonstruksi; bab 5 membahas tentang ada apa dengan dekonstruksi sejarah?; Bab 6 membahas tantang ada apa dengan rekonstruksi atau construksi sejarah? ; bab 7 menjelaskan tentang pemikiran Michel Foucault; dan bab 9 menjelaskan tentang pemikiran Hayden White.

Yang saya pahami dari mempelajari buku ini adalah Alun Munslow sedang memberi ruang kepada publik utnuk bersama-sama mendiskusikan teori baru yaitu dekostruksi sejarah. Saya belom paham benar maksud dari Alun Munslow mengenai ‘dekonstruksi sejarah ini’. namun ada empat pertanyaan menjadi perdebatan dalam buku ini, yang pertama, dapatkah sejarah empiris sebagai epistemology yang terpisah?, bagaimana karakter bukti-bukti sejarah dan bagaimana mempublikasikannya, bagaimana peran sejarawan, teori sosial, dan pembangunan kerangka penjelas dalam memahami sejarah? Dan bagaimana cara yang signifikan untuk menjelaskan sejarah dalam bentuk narasi?. Kesimpulan saya adalah ada cara baru didalam mempelajari historiografi sejarah (penulisan sejarah), Yaitu Dekonstruksi Sejarah. Dekonstruksi merupakan kebalikan dari rekonstruksi. Jika rekonstruksi berarti membangun kembali apa yg pernah ada maka dekonstruksi adalah memecah atau membongkar apa yang sudah ada.

Didalam bab lima dan enam, Alun Munslow mempertanyakan ‘bagaimana reconstruksi, construksi dan dekonstruksi yang dilakukan oleh para sejarawan sekarang ini.’ paradigma sejarawan mengenai historiografi pada dewasa ini adalah ‘sejarawan hanya menerjemahkan bukti-bukti menjadi sebuah fakta’, ‘metode sejarah merupakan ilmu empirisme dan ilmiah’ dan sejarah yang mereka (sejarawan sekarang) hasilkan adalah sebuah interpretasi dari fakta-fakta yang ada. Itu artinya sejarah yang dihasilkan oleh sejarawan sekarang ini ada berdasarkan penemuan-penemuan traces (jejak-jejak) yang ada yang dirangkaikan melalui alur atau Paul Vegne mengatakan sejarah berasal dari plot.

Berbeda dengan pemikiran Hayden White, dalam buku deconstructing history ini ia menawarkan sebuah teori baru yaitu sejarah narasi, dimana sejarawan mampu menggambar sejarah dalam suatu narasi. Alun munslow juga menggabungkannya dengan teori dekosntruktifnya yaitu “Retorical analysis of historical narrative”. Dengan memecah atau membongkar sejarah yang sudah ada, dekonstruksi sejarah dibantu oleh pendekatan-pendekatan bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas sehingga terciptalah sejarah yang kaya dengan pengkajian tentang informasi bukan hanya sekedar pengkajian tentang perubahan dalam konteks waktu. Kemudian hasil historiografi ini dipaparkan dalam bentuk carita narasi, yang menurut pendapat saya sama dengan yang dipaparkan oleh Louis Gottschalk “art of historical writing.”

Eksklusivisme[1] sejarah[2]

              Tanpa disadari sejarawan telah membangun sejarahnya sendiri. Sejarah untuk sejarawan. Kenapa? Karena sejarah ditulis bukan untuk masyarakat awam yang ingin mengetahui dan mengerti masalalunya, namun sejarah ditujukan untuk kepentingan penguasa, kepentingan politik dan para penikmat sejarah [akademik]. Sebagai contoh, dalam pembabakan historiografi Indonesia yang dipaparkan oleh Nina Lubis dalam bukunya Historiografi Indonesia dan Permasalahannya bahwa ada 4 babak dalam penulisan sejarah di Indonesia, (1) zaman  Tradisional, sifat historiografi Indonesia bersifat istanacentris (2) zaman Kolonial, Historiografi Indonesia bersifat Eropacentris (3) pada zaman pergerakan-kemerdekaan, Historiografi Indonesia bersifat nasionalis (4) dan pada zaman modern yang dimulai pada tahun 1957, historiografi Indonesia berkembang akibat ditemukannya metode dan metodologi sejarah baru yang mengakibatkan focus historiografi Indonesia semakin meluas, namun tetap terpenjara oleh sejarah orang-orang besar dan politik.
Dalam babakan zaman ini, tidak terlihat sejarah orang kebanyakan seperti yang disebutkan oleh Bambang Purwanto. Jarang sekali bahkan tidak ada ditemukannya buku-buku yang membahas tentang anak-anak, remaja, perempuan pada masa colonial maupun pada zaman kemerdekaan. Keberadaan mereka dianggab tidak laku dalam nilai ekonomi. Alhasil, kakulah persejarahan di Indonesia, secara tidak sadar sejarah menjadi ‘eksklusive’, sejarah hanya diminati oleh orang-orang tertentu saja. Sejarah menjadi milik mereka yang menganggap penting sejarah tanpa menularkan pentingnya sejarah, sejarah menjadi milik mereka yang pernah menyentuh masa penjajahan dan perang kemerdekaan, sejarah menjadi milik penguasa untuk legitimasi kekuasaan, sejarah menjadi alat kepentingan politik dan sejarah tentunya milik sejarawan sebagai penulisnya. Ahirnya, seharusnya sejarah milik siapa? Bagaimana dengan mereka yang bukan jurusan sejarah?, bagaimana dengan mereka yang masih anak-anak, remaja? Patutkah kita mempersalahkan mereka dengan ‘ketidaktahuan’ mereka akan sejarahnya?
Dengan tawaran metode dan metodologi yang beragam sekarang ini, saatnya sifat eksklusive sejarah menjadi inklusive. Cerita masa lalu harusnya milik semua orang baik secara isi, bahasa maupun tujuan. Artinya sejarah bukan milik penguasa, politik, akademisi, penikmat sejarah lagi, tetapi sejarah milik segenap lapisan masyarakat dengan tawaran bahasa yang mudah dimegerti dan tentu saja dengan topik-topik yang berkaitan dengan ‘orang kebanyakan’. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika dimasa yang akan datang akan ada specialisasi sejarah anak-anak dan spesialisasi yang lain-lain.


[1] Menurut KBBI Eksklusivisme adalah paham yamg mempunyai kecendrungan untuk mrmisahkan diri dari masyarakat.
[2] Sejarah dalam artian ceriita masa lalu yang sudah ditulis sedangkan masalalu adalah cerita sejarah yang belom ditulis (Bambang Purwanto).